HUKUM ISTERI KELUAR RUMAH TANPA IZIN SUAMI

HUKUM ISTERI KELUAR RUMAH TANPA IZIN SUAMI

HUKUM ISTERI KELUAR RUMAH TANPA IZIN SUAMI

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, maaf ustadz saya ini seorang istri yang bisa di katakan termasuk istri yang taat kepada suami saya akan tetapi suami kurang perhatian kepada saya sehingga saya sering keluar rumah tanpa izin darinya, apakah saya mendapatkan dosa dari perbuatan saya tersebut

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Seorang istri yang shalehah adalah seorang istri yang tidak sekedar dia itu menyenangkan suami, akan tetapi juga sabar akan kekurangan sang suami. Jika permasalahannya adalah masalah perhatian, sekarang yang perlu dipertanyakan adalah: Perhatian seperti apa yang anda inginkan? Kadang ada orang yang (mohon ma’af) selalu berlebihan di dalam mengharap perhatian. Karena mungkin melihat orang lain mendapat perhatian yang lebih dari suaminya, dia ingin mendapatkan seperti itu juga dari suaminya.

Akan tetapi kaidah dalam hidup berumah tangga adalah “Lakukan kewajibanmu, dan jangan banyak menuntut!” Apa tugas anda sebagai seorang istri? Kemudian bagaimana sebaiknya seorang istri jika menemukan pasangannya tidak melaksanakan kewajiban atau kurang dalam melaksanakan kewajibanya?

Kita harus bisa menata hati. Dalam hidup berumah tangga ada saatnya kita bersyukur dan ada saatnya kita bersabar. Yang tidak mengerti syukur dan terimakasih akan selalu menuntut lebih kepada pasangan. Kesabaran juga sangat penting untuk meredam emosi dan memperkecil tuntutan. Jangan sampai sedikit – sedikit protes atau menuntut. Anda katakan bahwa anda adalah wanita yang taat. Akan tetapi bagaimana seorang istri yang patuh pada suami keluar tanpa izin hanya karena tidak atau kurang diperhatikan? Lalu apa yang anda lakukan diluar? Wanita sholehah tidak akan keluar rumah kecuali atas izin seorang suami.

Jika menemukan suami yang tidak perhatian mungkin bisa dibuka komunikasi yang baik. Sampaikan dengan baik apa yang anda inginkan. Rata-rata suami akan merasa senang dan bangga jika istrinya manja dan minta untuk dimanja dan disayang. Tentunya hal itu dalam batas yang wajar dan bertahap sesuai dengan kemampuan seorang suami. Sebab ada suami yang memang tidak biasa mesra, hal itu jangan diartikan benci atau tidak perhatian. Akan tetapi itu hanya karena belum biasa.

Jangan protes dengan melanggar. Protes dengan melanggar adalah bukan kepatuhan. Tidak menarik hati suami. Itu adalah bertentangan dengan kepatuhan. Hukumnya adalah dosa dan haram di hadapan Allah SWT. Kepada para suami hendaknya menjadi suami yang pandai dalam seni bercinta dengan istri. Seorang istri tidak hanya membutuhkan materi akan tetapi sanjungan, rayuan, perhatian dan sentuhan tangan lembut seorang suami adalah obat penat dalam menjalani kewajiban sebagai seorang istri. Wallahu a’lam bish-shawab

HUKUM BERSUJUD DI LUAR SHALAT

HUKUM BERSUJUD DI LUAR SHALAT

HUKUM BERSUJUD DI LUAR SHALAT

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Buya, saya ibu rumah tangga. Seringkali kita melihat di TV orang yang bergembira tiba-tiba bersujud dengan spontan, sementara dia tidak dalam keadaan shalat. Adakah sujud selain dalam shalat? Haruskah menghadap kiblat? Bagaimana apabila tidak tahu arah kiblat? Mohon penjabaran dari Buya, terima kasih.

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Tentang sujud selain dalam shalat itu ada rinciannya. Ada empat macam sujud yang diperkenankan, yaitu sebagai berikut:
1. Sujud Dalam Shalat
2. Sujud Sahwi (sebenarnya ini juga termasuk sujud dalam shalat)
3. Sujud Tilawah
4. Sujud Syukur

Barangkali yang ditanyakan adalah macam sujud yang ke-4 yaitu sujud syukur. Dalam hal sujud syukur ini, sebelum para ulama berbeda pendapat tentang cara melaksanakannya mereka telah berbeda pendapat tentang ada dan tidak adanya sujud syukur. Hampir disepakati oleh ulama Syafi’iyah (Imam Syafi’i) dan Hanabilah (Imam Hanbali) bahwa sujud syukur adalah dianjurkan disaat mendapatkan nikmat atau terhindar dari musibah.

Ada juga pendapat sebagian kecil ulama Hanafiyah (Imam Hanafi) dan Malikiyah (Imam Malik). Hanya kebanyakan ulama Malikiyah dan Hanafiyah mengatakan sujud syukur tidak dianjurkan. Ulama yang menganjurkan sujud syukur mereka berbeda pendapat akan cara pelaksanaannya.

Menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwasanya sujud syukur itu harus memenuhi syarat-syarat dalam shalat (seperti : Menghadap kiblat, bersuci dan menutup aurat). Artinya jika ada orang sujud syukur tanpa menghadap kiblat atau tanpa wudhu atau tanpa menutup aurat maka sujud syukur tersebut tidak sah bahkan haram, jika ia sadar dan tahu kalau itu tidak sah.

Akan tetapi, ada pendapat sebagian kecil dari pengikut Madzhab Hanbali yang mengatakan bahwa sujud syukur bisa dilakukan tanpa bersuci dan menurut sebagian kecil dari pengikut Madzhab Malik bisa dilakukan tanpa menutup aurat.

Adapun menghadap kiblat telah disepakati oleh ulama bagi yang tahu kiblat hukum menghadap kiblat adalah wajib dan jika tidak menghadap kiblat maka sujudnya tidak sah dan hukumnya haram.

Ada lagi perbedaaan di antara ulama, yaitu haruskah dengan takbirotul ihrom, tasyahud dan salam? Kebanyakan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan sujud syukur adalah dengan takbirotul ihrom dan salam tanpa ada Tasyahud. Ada sebagian kecil ulama yang mengatakan tanpa takbirotul ihrom dan tanpa salam. Adapun masalah tasyahud hampir disepakati bahwa sujud syukur tidak ada tasyahudnya.

Dari yang telah diuraikan tentu bisa dimengerti, bahwa apa yang ditanyakan akan adanya orang sujud di TV adalah tidak benar jika mereka memang tidak berwudhu atau tidak menutup aurat atau tidak menghadap kiblat. Namun, jika masih menutup aurat dan menghadap kiblat hal itu masih bisa dianggap sah menurut sebagian kecil ulama, akan tetapi karena masyarakat kita umumnya bermadzhab Syafi’i orang tersebut harus dibimbing agar amalannya bisa sesuai dengan amalan Madzhab Syafi’i.

Adapun pertanyaan yang ketiga, bagi orang yang tahu arah kiblat dan mampu menghadap kiblat lalu tidak menghadap kiblat maka disepakati oleh para ulama hal itu adalah tidak sah dan haram hukumnya. Keharamannya tidak sampai derajat kafir karena ia masih sujud kepada Allah akan tetapi yang salah caranya.
Wallahu a’lam bish-shawab
————————————————
Dapatkan kumpulan tanya jawab bersama Buya Yahya dalam buku :
Buya Yahya Menjawab
Informasi : 082127812592
——————————————-
Sampaikan kepada yang lain, Rosulullah Saw bersabda yang artinya :
“Barang siapa yg menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya” (HR. Imam Muslim)

HUKUM SHALAT MEMBAWA NAJIS

HUKUM SHALAT MEMBAWA NAJIS

HUKUM SHALAT MEMBAWA NAJIS

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Buya saya mau bertanya. Bagaimana hukum shalat orang yang ketika shalat membawa najis, akan tetapi ia tidak tahu, ia tahu ketika ia sudah keluar dari shalat. Apakah wajib diulang shalatnya?

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Salah satu syarat sahnya shalat adalah mensucikan dan menghindar dari najis di badan, pakaian dan tempat yang bersentuhan dengan anggota tubuhnya saat shalat. Maka jika ada orang melakukan shalat dengan membawa najis maka shalatnya adalah tidak sah, baik ia mengetahui saat sebelum shalat atau setelahnya. Sesuai yang ditanyakan, asal orang yang shalat tersebut meyakini bahwa najis yang ada pada pakaiannya itu ada disaat sebelum atau disaat ia tengah shalat maka shalatnya adalah tidak sah dan ia wajib mengulang shalatnya.

Berbeda jika ia melihat najis tersebut setelah selesai shalat dan ia menduga bahwa najis tersebut menimpanya setelah shalat maka shalatnya dianggap sah.

Wallahu a’lam bish-shawab.

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH & DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH & DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH & DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

Berikut kami hadirkan doa awal tahun dan akhir tahun yang disusun oleh Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah…

Doa akhir tahun dianjurkan dibaca ketika menjelang maghrib 1 Muharrom dan Doa Awal tahun dianjurkan dibaca saat selesai sholat Magrib 1 Muharrom

DOA AKHIR TAHUN HIJRIYAH

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ, اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِيْ. وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جَرَاءَتِيْ عَلَى مَعْصِيَتِكَ ,
اَللّٰهُمَّ إِنِّي اَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِيْ, وَمَا عَمِلْتُهُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْأَلُكَ اَللّٰهُمَّ يَا كَرِيْمُ. يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ أَنْ تَتَقَبَّلَهُ مِنِّيْ وَلاَ تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

DOA AWAL TAHUN HIJRIYAH

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ, اَللّٰهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الأَوَّلُ, وَعَلَى فَضْلِكَ اْلعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ, وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ, نَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ وَجُنُوْدِهِ, وَاْلعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ, وَاْلاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Sampaikan kepada yang lain…
Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya.” HR. Imam Muslim

KEUTAMAAN AMALAN PUASA BULAN MUHARRAM

KEUTAMAAN AMALAN PUASA BULAN MUHARRAM
Oleh : Buya Yahya
Pengasuh LPD Al-Bahjah

Bulan Muharrom adalah salah satu dari empat bulan mulia yang disebutkan dalam Al-Quran. Amalan yang di anjurkan adalah semua amalan yang di anjurkan di bulan lain sangat di anjurkan di bulan ini, hanya saja ada amalan yang sangat dianjurkan secara khusus di bulan ini yaitu :

1. Puasa tanggal 10 yang disebut dengan puasa ‘Asyuro, seperti yang telah disebutkan dalam hadits :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ )

Rosulullah SAW bersabda : “Ini (10 Muharrom) adalah hari ‘Asyuro dan Allah tidak mewajibkan puasa atas kalian dan sekarang aku berpuasa, maka siapa yang mau silahkan berpuasa dan siapa yang tidak mau silahkan berbuka (tidak berpuasa) “ (Bukhori :1899 dan Muslim : 2653)

2. Dengan pahala akan diampuni dosa tahun yang lalu :

صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاء، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“ Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu “. (Muslim : 2746).

3. Sangat dianjurkan untuk ditambah agar bisa berpuasa di hari yang ke-Sembilan, seperti yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan (perintah sunnah) manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila datang tahun depan Insya Allah kami akan berpuasa pada tanggal 9 (Muharram). Berkata Abdullah bin Abbas “ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.” ( Muslim : 1134/2666)

4. Lebih bagus lagi jika ditambah hari yang ke-Sebelas seperti disebutkan dalan sebuah riwayat dari sahabat Abdullah ibn Abbas :

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاء، وَخَالِفُوا اليَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyuro` dan berbedalah dengan orang Yahudi, (yaitu) berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” (Ibnu Khuzaimah: 2095).

5. Lebih dari itu berpuasa disepanjang bulan Muharom adalah sebaik baik bulan untuk puasa seperti disebutkan oleh Rasulullah dalam hadits yang disebutkan Imam Muslim :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ اْلمُحَرَّمِ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

”Sebaik baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharom, dan sebaik-baiknya sholat setelah sholat fardhu adalah Sholat malam” (Muslim No: 2755).

Kesimpulannya :
1) Bahwa puasa sepanjang bulan Muharrom adalah puasa yang sangat dianjurkan seperti disebutkan dalam Hadits tersebut di atas.

2) Sebaik-baik hari dari bulan Muharom tersebut adalah tanggal 10 Muharrom.

3) Dan setelah 10 Muharrom akan menjadi lebih baik lagi jika ditambah dengan tanggal 9 (sembilan) seperti yang disebutkan dalam hadits tersebut di atas.

4) Dan akan lebih baik lagi jika ditambah dengan sehari di tanggal 11 untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nasrani.

5) Dan untuk lebih baiknya lagi adalah menambah hari di sepanjang bulan Muharrom hingga sempurna.

Catatan Penting :
Berpuasa penuh sepanjang bulan Muharrom adalah
sunnah, seperti disebutkan dengan sangat jelas dalam hadits Nabi SAW tersebut di atas. Wallohu a’lam bishshowab

KEMBALIKAN IMAN DI TAHUN BARU

KEMBALIKAN IMAN DI TAHUN BARU

KEMBALIKAN IMAN DI TAHUN BARU

Hari demi hari berganti, minggu demi minggupun terlewati, bulan demi bulan kita lalui, tidak lama lagi kitapun akan melewati pergantian tahun. Sesaat lagi kita akan memasuki tahun baru 1 Muharram.

Sadarkah kita bahwa ketika tahun berganti itu artinya usia kita telah bertambah dan disaat itu semakin banyak hal yang akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Kita punya segunung amanat yang kita pikul di pundak kita. Amanat sebagai orang tua, amanat sebagai anak, amanat sebagai Ustadz, amanat sebagai pejabat, amanat sebagai orang kaya, dan masih banyak lagi status dan gelar yang kita sandang yang semua itu sebenarnya adalah amanat.

Akhir tahun adalah saat saat yang seharusnya dihadapi dengan sebuah evaluasi, introspeksi dan sadar diri akan masa-masa yang telah lalu. Perubahan apa yang kita alami selama ini. Semakin baikkah kita atau semakin kita terpuruk dan lupa diri? Apakah kita semakin kenal kepada Allah dan Rosul-Nya? Atau semakin terpedaya kita dengan hawa nafsu kita? Betapa banyak kita telah lewati umur untuk hal hal yang tidak berguna. Alangkah seringnya kita melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya.

Sadarkah kita yang telah butakan mata hati dari yang haq, kita tulikan telinga kita dari kebenaran, kita terpesona oleh tahta dan harta. Kita jerumuskan putra putri kita pada sarana sarana kehancuran dan kebobrokan moral dari media informasi dan hiburan yang tidak kita kontrol. Dan masih banyak hal lagi dengan aneka ragam kesalahan yang kita lakukan.

Awal tahun hendaknya dihadapi dengan sebuah harapan kepada Allah SWT. Harapan yang terencanakan dan terarah. Ada tujuan yang harus dijelaskan titik bidiknya, yaitu tahun yang akan datang harus lebih baik dari tahun yang sekarang. Iman harus semakin bertambah, akhlaq semakin mulia, sahabat dari orang-orang baik semakin banyak, hati bertambah lembut, jiwa semakin bersyukur dan tidak rakus dan hidup semakin mesra dengan sesama dan semakin khusuk kepada Allah SWT.

Tahun baru Hijriyah bukan sekedar pergantian tahun akan tetapi ada makna yang terkandung di balik tahun baru hijriyah. Tahun baru maknanya kita menuju perubahan seperti hijrahnya Rasululloh SAW adalah menuju sebuah perubahan.

Dan tahun baru adalah iman karena kelalaian kita kepada tahun baru hijriyah menjadikan syi’ar hamba-hamba yang tidak beriman marak terangkat dengan budaya tahun baru masehi yang diwarnai dengan bermacam-macam kemaksiatan.

Mari kita kita cermati sinar keimanan dengan membaca wajah-wajah kita di tahun baru Hijriyah. Lihatlah wajah-wajah itu disaat menyambut tahun baru Hijriyah. Adakah wajah wajah itu adalah yang berbinar dan berseri-seri dengan tahun baru Hijriyah tanda adanya sebuah jalinan tersembunyi di dalam kalbunya dengan Rasulullah sang pelaku sejarah hijrah, tanda ada kebanggaan di dalam hatinya kepada Islam.

Sungguh yang amat kita khawatirkan adalah jika ternyata wajah kita adalah wajah yang suram dengan tahun baru Hijriyah dan giliran kedatangan tahun baru masehi ternyata wajah-wajah kita dan anak kita adalah wajah yang berbangga akan kedatanganya, hingga kita rela berkorban harta, waktu, dan tenaga hanya untuk menanti pukul 00.00 di tahun baru masehi.

Pernahkah kita sadar dan berfikir disaat kita dan anak-anak kita ikut-ikutan mengagungkan syi’arnya hamba yang tidak beriman. Relakah kita saat merayakan tahun baru masehi tiba-tiba nyawa kita dan anak-anak kita dicabut. Artinya mati di saat berbangga dengan budaya orang yang tidak kenal Rasulullah SAW. Sungguh itulah kematian yang sia-sia, mati dalam sejelek-jeleknya kematian, mati dengan su’ul khotimah.

Pergeseran nilai keimanan amatlah halus, tanpa disadari tiba-tiba seseorang telah berada di luar wilayah iman. Mulai dari berbangga dengan budaya dan tradisi orang-orang yang tidak beriman tiba-tiba suatu saat pada akhirnya tanpa disadari sebuah hati telah mati kekagumanya kepada nilai-nilai Islam. Malu dengan semua yang berlebel Islam, merasa minder dengan budaya Islam dan itulah tercabutnya Iman.

Dan di tahun ini, akankah kita biarkan diri kita dan anak-anak kita hanyut dalam trad
isi tahun baru masehi hingga pada akhirnya nanti anak-anak kita akan hanyut dalam suasana bangga kepada selain Islam ? Sungguh Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa “Siapapun yang berbangga kepada selain Islam ia akan dibangkitkan nanti bersama yang dibanggakan”.

Kita punya tahun baru yang perlu kita banggakan, tahun baru hijriyah. Jadikanlah tahun baru hijriyah adalah tahun introspeksi, tahun perubahan, tahun mengagungkan syi’ar Islam, tahun memupuk kebanggaan dan kekaguman pada Islam, tahun memperbaharui jalinan dan cinta kita kepada Rasulullah SAW. Dengan harapan kelak kita bisa dibangkitkan lalu dikumpulkan di surga bersama Rasulullah SAW.

Inilah renungan singkat di tahun baru Hijriyah untuk menggapai hari esok yang lebih bermakna, penuh dengan rahmat dan ridho Allah SWT.

Wallahu A’lam Bishshowab

HUKUM SYARIFAH (WANITA KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW) MENIKAH DENGAN AHWAL (BUKAN KETURUNAN NABI SAW)

HUKUM SYARIFAH (WANITA KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW) MENIKAH DENGAN AHWAL (BUKAN KETURUNAN NABI SAW)

HUKUM SYARIFAH (WANITA KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW) MENIKAH DENGAN AHWAL (BUKAN KETURUNAN NABI SAW)

Pertanyaan:
Asalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh Buya, saya ingin bertanya. Saya wanita keturunan habaib, apakah benar ada di dalam Al-Qur’an menerangkan bahwa wanita bangsa habaib dilarang keras menikah dengan orang yang bukan sebangsa habaib? Bukankah pernikahan itu harus dilandasi dengan cinta kedua belah pihak tanpa dengan paksaan, Buya? Hal ini benar atau salah Buya? Saya ingin tahu kebenarannya tentang syarat2 pernikahan dalam Islam (sumber al Quran) mohon balasannya Buya. Wassalam

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Pendidikan cinta dan rumah tangga dalam Islam yang benar adalah : “Bukan pernikahan dibangun di atas cinta, akan tetapi hendaknya cinta dibangun di atas pernikahan. “Sehingga yang diutamakan di dalam ajaran agama Islam adalah bagaimana kita bisa memilih pasangan dengan benar untuk menuju pernikahan.

Seseorang tidak akan bisa memilih dengan secara sesungguhnya disaat mereka sudah terlanjur jatuh cinta terlebih dahulu. Maka di dalam Islam tidak disyari’atkan berpacaran, demi menjaga agar seseorang bisa benar dalam memilih pasangan dan bisa menjauh dari pintu zina. Sebab dalam Al-Qur’an disebutkan:

“وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَى ”

Artinya : “ Jangan engkau mendekati zina”.

Mendekati zina diantaranya adalah yang sering dilakukan oleh anak muda zaman sekarang dengan istilah pacaran.

Adapun Masalah pernikahan seorang Syarifah (wanita keturunan habaib) dengan orang yang bukan Sayyid (bukan keturunan Habaib) : ini dibahas oleh ulama di dalam bab kafa’ah.

Yang harus kita ketahui bahwasanya istilah kafa’ah adalah hal yang disepakati oleh semua orang yang berakal. Kafa’ah adalah kesesuaian dan keserasian antara suami dengan istri. Semua orang yang berakal menganggap adanya yang namanya kafa’ah. Jadi, kafa’ah itu sudah menjadi sebuah kesepakatan. Maka, sungguh aneh jika ada orang yang mengingkari kafa’ah.

Disadari atau tidak seorang bapak yang mempunyai seorang putri saat hendak mencarikan suami untuk putrinya akan memilih calon suami yang sepadan atau bahkan lebih dari putrinya sendiri dalam kecakapan kekayaan atau nasab. Biasanya gara-gara berpacaran atau cinta terlebih dahulu itulah seorang menikah akan melanggar kafa’ah ini yang sekaligus melanggar orang tua.

Kafa’ah adalah untuk menjaga kelestarian dalam sebuah pernikahan. Kemudian di dalam Islam, kafa’ah sangat penting dan sangat diperhatikan. Sehingga menjadi kesepakatan ulama akan adanya kafa’ah dalam pernikahan. Hanya nanti ada perbedaan diantara para ulama tentang rinciannya, seperti kafa’ah itu dalam hal apa saja. Yang jelas kafa’ah itu ada. Itu bukan termasuk diskriminasi. Bukan termasuk kasta. Tidak ada kasta di dalam Islam. Akan tetapi dengan adanya kafa’ah ini justru ingin menjaga agar pernikahan lestari dan tidak ada yang saling merendahkan.

Jumhur ulama berpendapat bahwasanya ada yang namanya “kafa’ah dalam nasab”, kecuali Mazhab Imam Malik r.a di dalam rinciannya. Termasuk diantaranya adalah wanita-wanita keturunan dari Nabi SAW dari Sayyidah Fatimatuz Zahra. Maka jika ada seorang pria yang tidak mempunyai nasab sambung kepada Sayyidatina Fatimatuz Zahra maka orang tersebut tidak sekufu dengan wanita keturunan Sayyidah Fatimatuz Zahra.

Pengikut Maliki yang secara umum mengatakan tidak perlu ada kafa’ah di dalam nasab, akan tetapi dalam kenyataan mereka juga memperhitungkan masalah kafa’ah dalam nasab saat mereka menikahkan putri-putri mereka. Maka sungguh aneh jika ada orang yang bermazhab Syafi’i di tengah-tengah masyarakat Syafi’iyyah gembar-gembor Mazhab Malik dalam hal ini. Kadang kafa’ah di dalam nasab ini dihadirkan di tengah-tengah masyarakat Syafi’iyyah karena kedengkian kepada orang-orang yang memiliki nasab kepada Sayyidah Fatimah. Sementara, ulama Malikiyyah membahas kafa’ah nasab ini murni kajian ilmiah bukan karena kedengkian.

Adapun pembahasan ulama tentang kafa’ah finnasab. Itu apakah kafa’ah finnasab ini adalah syarat luzum atau syarat shihhah (kecuali kafa’ah dalam agama). Jumhur ulama mengatakan itu adalah syarat luzum, bukan syarat shihhah. Artinya, jika ada seorang yang menikah tanpa sekufu maka secara fiqih belum dianggap lazim, artinya jika ada wali mujbir yang menikahkan putrinya tidak dengan sekufu maka sang putri berhak untuk membatalkan pernikahan tersebut. Atau sebaliknya, jika seorang putri menikah tidak dengan sekufu mungkin karena jauh dari tempat walinya lebih dari 2 (dua) marhalah lalu dinikahkan oleh seorang hakim, maka seorang wali pun bisa membatalkan pernikahan tersebut.

Akan tetapi, jika dua-duanya (wali dan anak) telah merelakan haknya dengan membiarkan pernikahan berlangsung maka pernikahan pun menjadi sah. Atau disaat pernikahan yang tidak sekufu tersebut sudah terlanjur terjadi hubungan suami istri atau bahkan sampai punya anak, maka disaat seperti itu pernikahan tersebut menjadi lazim, sah dan berlanjut dan bukan zina.

Memang orang seperti ini telah melakukan kesalahan, akan tetapi kita juga tidak boleh mengatakan itu zina. Sebab zina adalah dosa besar dan dalam perzinaan ada hukum yang sangat banyak berkenaan dengan perzinaan. Dari urusan nasab, waris, hukum had, dll.

Ada riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa kafa’ah adalah syarat sah, artinya pernikahan yang tidak sekufu adalah tidak sah. Pendapat ini telah banyak ditolak dalam Mazhab Hambali sendiri.

Imam As-Syafi’i r.a khususnya sangat ketat dalam urusan kafa’ah. Karena Imam Syafi’i termasuk orang yang sangat peduli kepada istilah psikologi dan sosiologi. Maka kafa’ah ini sesuatu yang harus diperhatikan demi kelestarian dan kelanggengan pernikahan.

Perlu kami ingatkan dan kami himbau kepada semua yang punya nasab kepada Nabi SAW, yaitu para Habaib dan Syaraif, agar selalu menjaga putri-putrinya agar tidak menikah dengan orang yang bukan Syarif/bukan Sayyid. Ini adalah hak mereka untuk menjaganya. Tidak ada perlunya kita menengok kepada mazhab Imam Malik selagi masih mungkin dan bisa untuk menerapkan mazhab jumhur di dalam masalah ini. Bahkan para habaib yang tidak peduli dengan masalah ini dikhawatirkan telah berpaling dari kemuliaan nasab Nabi SAW. Yang berpaling dari Nabi SAW dikhawatirkan akan ditinggal oleh Nabi SAW.

Wallahu a’lam bish-shawab