SEORANG HAMBA, NAMUN TERAMAT MULIA

SEORANG HAMBA, NAMUN TERAMAT MULIA

SEORANG HAMBA, NAMUN TERAMAT MULIA
(Oase Iman Buya Yahya)

Satu ayat Al-Quran bercerita tentang “Isro’”nya Rasulullah SAW, dan ketika itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW itu adalah seorang hamba “bi ‘abdihi”. Begitu juga tentang “Mi’raj”nya Rasulullah SAW beliau sendiri bercerita dengan ungkapan hamba “faauha ila abdihi”.

Sebuah ungkapan pendidikan iman kepada Allah SWT Sang Pencipta dan iman kepada Rasulullah SAW yang seorang hamba namun amat dicintai dan dimulyakan oleh Allah SWT. Pendidikan iman yang amat halus dan cermat. Ungkapan yang mengingatkan kita kepada keberadaan Rasulullah SAW yang sebenarnya yaitu seorang hamba pilihan.

Makna yang tersirat dalam ungkapan indah itu adalah ; Rasulullah SAW menjalani Isra dan Mi’raj. Setinggi apapun Rasulullah meniti perjalanan Mi’raj, dan semulia apapun tempat yang beliau kunjungi, akan tetapi tetaplah Rasulullah SAW adalah seorang hamba yang tidak akan berubah menjadi selain hamba Allah SWT. Itulah Rasulllah SAW yang dalam pengalaman istimewa ini Allah SWT dengan sengaja menggelarinya sebagai ‘hamba’.

Ini sangat sesuai dengan apa yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah SAW “laatuhhruuni kamaa athratinnasooro ‘Iisaa ibna Maryama” (artinya : Jangan engkau kultuskan aku seperti orang nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam). Pendidikan dari Rasulullah SAW agar kita tidak menyanjung berlebihan kepada Rasulullah SAW seperti yang dilakukan kaum nasrani dalam menyanjung Nabi Isa AS. Yaitu dengan menyanjung dan mengangkat Nabi Isa hingga sampai derajat ketuhanan.

Artinya Rasulullah SAW biarpun telah melampaui tempat mulya Sidratul Muntaha akan tetapi beliau tetaplah hamba Alah SWT. Hamba Allah SWT saat di bumi dan hamba Allah SWT saat di atas langit. Dan sungguh gelar hamba itulah gelar yang sangat dicintai oleh Rasulullah SAW.

Makna lain yang bisa dimengerti adalah : Rasulullah SAW biarpun seorang hamba akan tetapi beliau telah diagungkan dan dimuliakan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Dan kita pun diperintahkan untuk memuliakannya. Allah SWT sangat menganjurkan kita agar menyanjung makhluk paling agung dan mulia ini dalam kesehari-harian kita. Sanjungan ini tidak ada batasnya. Kita boleh mengagungkan dan memuliakan Rasulullah SAW dengan pengagungan sepuas hati kita. Sebab semua kemuliaan dan keagungan yang ada pada semua makhluq Allah SWT adalah di bawah kemuliaan dan keagungan yang ada pada Rasulullah SAW. Kita boleh mengangkat Rasulullah SAW setinggi-tingginya karena hanya beliaulah yang mencapai pangkat dan tempat tertinggi. Akan tetapi dengan catatan jangan sampai kita mencabut sifat “kehambaan” dari Rasulullah SAW.

Suatu kepincangan dalam keimanan adalah yang mempercayai Rasulullah SAW sebagai seorang hamba yang diangkat tinggi-tinggi oleh Allah SWT dalam tempat dan pangkat akan tetapi begitu keberatan jika ada sanjungan diberikan kepada Rasulullah SAW. Begitu juga suatu pemusnahan terhadap iman adalah menyanjung Rasulullah SAW dengan sanjungan yang menghilangkan sifat kehambaan Rasulullah SAW. Wallahu a’lam bishshowab.

SAHKAH JIKA TIDAK MEMBUKA KERUDUNG DI SAAT WUDHU KARENA BANYAK LAKI-LAKI?

SAHKAH JIKA TIDAK MEMBUKA KERUDUNG DI SAAT WUDHU KARENA BANYAK LAKI-LAKI?

SAHKAH JIKA TIDAK MEMBUKA KERUDUNG DI SAAT WUDHU KARENA BANYAK LAKI-LAKI?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Buya yang dirahmati Allah, bagaimana jika wudhu kerudungnya tidak dilepas? Karena di tempat tersebut banyak kaum laki-laki. Apakah itu boleh? Bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Mengusap rambut kepala adalah wajib di dalam wudhu. Dalam Madzhab Imam Syafi’i cukup dan sah biarpun hanya satu rambut asalkan masih berada di bagian kepala (ini adalah kemudahan dalam Islam). Berbeda jika kita melihat madzhab yang lain. Jadi wanita yang pakai kerudung tidak perlu membuka kerudungnya khususnya jika disitu ada laki-laki yang bukan mahramnya. Cukup dengan membasahi ujung jari lalu dimasukkan di balik kerudung asal menyentuh rambut yang di kepala maka wudhunya sudah sah. Demi kesempurnaan (sunnah), jika tidak di hadapan kaum laki-laki yang bukan mahram dianjurkan untuk mengusap seluruh bagian kepala. Wallahu a’lam bish-shawab.

SHALAT JAMAAH DI MASJIDIL HARAM APA KEUTAMAANNYA?

SHALAT JAMAAH DI MASJIDIL HARAM APA KEUTAMAANNYA?

SHALAT JAMAAH DI MASJIDIL HARAM APA KEUTAMAANNYA?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya mendengar dari seorang teman dari Mesir bahwasanya sebelum masa Sheikh Muhammad bin Abdul Wahab atau sebelum Makkah di bawah kekuasaan penguasa yang sekarang, ummat Islam mendirikan shalat berjama’ah secara berkelompok kelompok di dalam Masjidil Haram sesuai dengan madzhabnya. Misalnya Mazhab Imam Syafi’i membentuk jama’ah shalat sendiri dengan seorang Imam, begitu juga tiga madzhab yang lainnya. Mohon penjelasannya,

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Shalat berjamaah di Masjidil Haram dari semula dilakukan dengan satu imam, dan cara seperti itu adalah kebenaran yang disepakati oleh ulama 4 Mazhab, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Kemudian terjadi kerancauan pada abad ke 5 hijriyah yaitu munculnya shalat berjamaah sesuai dengan Madzhab masing-masing. Bersama itu juga muncul fatwa-fatwa pengingkaran akan hal tersebut dari pembesar ulama 4 Madzhab. Akan tetapi usaha mereka belum menuai hasil. Dikatakan oleh Ibnu Abidin seorang alim dalam Mazhab Hanafi dalam kitab Ad-Durrul Mukhtar, hal itu karena ada sebagian ulama yang dikuasai hawa nafsu dan cinta pangkat.

Kejadian semacam ini terus berlangsung hingga pada abad ke-13 tepatnya tahun 1345 hijriyah terjadilah shalat berjamah dengan satu imam dengan memperhatikan semua Madzhab untuk menjadi imam. Ada imam dari madzhab Hanafi, ada yang dari Madzhab Maliki, ada juga dari Madzhab Syafi’i dan juga ada yang dari Madzhab Hanbali yaitu pada masa Raja Abdul Aziz. Termasuk menjadi imam pada zaman itu adalah As-Sayyid Abbas bin Abdul Aziz Al-Hasani Al-Maliki kakek dari Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliky. Jadi masa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir pada tahun 1115 Hijriyah problem ini masih ada bahkan sampai 200 tahun kemudian.

Memang ada bahasa fitnah yang ditebarkan oleh kelompok ekstrim yang anti bermadzhab ingin merendahkan para penganut madzhab seolah-olah problem ini adalah karena adanya madzhab.

Padahal ulama 4 Madzhab juga mengingkari. Jadi problem berjamaah yang berkelompok-kelompok sesuai dengan madzhab masing-masing adalah hal yang tidak diinginkan oleh semua Madzhab dan yang mereka inginkan adalah saling mengerti dan saling memahami perbedaan dalam urusan furu.

Justru fitnah yang amat besar lagi adalah pada akhir-akhir ini yaitu disaat tidak ada Imam kecuali dari kelompok tertentu, seperti yang terjadi di Masjidil Haram saat ini. Bahkan majlis ilmu yang ada di Masjidil Haram pun tidak ada kecuali harus pendukung kelompok tertentu. Fitnah ini lebih besar dari fitnah yang saat ini kita bicarakan. Bahkan kelompok ini cenderung picik melihat ulama bermadzhab yang seolah-olah dimata mereka adalah ahli bid’ah karena taqlid mereka, hingga program kajian ilmiah yang semula marak dengan para ulama dari berbagai madzhab akan tetapi semua itu saat ini sudah tidak ada lagi. Hal ini adalah karena cara pandang yang salah dari kelompok tersebut seolah-olah mereka saja yang benar dan yang lainnya adalah salah dan tidak layak menjadi imam atau mengajar di Masjidil Haram. Semoga Allah menjauhkan kita semua dari fitnah dalam dunia dan agama. Wallahu a’lam bish-shawab