KEUTAMAAN PUASA ARAFAH

KEUTAMAAN PUASA ARAFAH

KEUTAMAAN PUASA ARAFAH
Oleh : Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon)

Sebentar lagi kita akan memasuki hari agung dan mulia yaitu Hari Arofah. Hari yang dipilih oleh Allah sebagai hari yang penuh dengan amalan-amalan ibadah di dalamnya. Bagi orang yang haji mereka melakukan wukuf di Padang Arofah dan bagi yang diluar atau bagi orang yang tidak melaksanakan ibadah haji disunnahkan untuk melakukan puasa di Hari Arofah. Secara umum di sepuluh awal Dzulhijjah disunnahkan kita untuk meningkatkan amalan-amalan yang sunnah yang biasa dilakukan di hari-hari yang lain. Lebih khusus lagi di Hari Arofah yaitu hari ke-9 Dzulhijjah.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud Rasulullah saw bersabda :

عن ابن عباس -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام) -يعني أيام العشر- قالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: (ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء)>
رواه أبو داود (2438) والترمذي (757)

Diriwayatkan oleh Abu Daud , dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Tidak ada hari untuk beramal shalih yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari pada hari-hari ini (Sepuluh hari awal dari bulan Dzulhijjah). Mereka bertanya : Ya Rasulullah, Apakah jihad fi sabilillah tidak bisa menyamainya? Beliau menjawab : Jihad fi sabilillah tidak bisa menyamainya, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun”.

Berpuasa adalah sebaik-baik amalan yang bisa dilakukan seorang hamba. Maka hendaknya kita rajin berpuasa di hari-hari seperti itu kemudian puncaknya adalah di hari arofah yang Nabi saw menyebutkan dalam hadits yang diriwayatkan imam muslim :

صيام يوم عرفه أحتسب على الله أنه يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده ) رواه مسلم(

“ Aku berharap kepada Allah semoga dengan Puasa Arofah Allah akan mengampuni dosa yang lalu dan dosa yang akan datang. “

Ini menunjukkan begitu pentingnya dan agungnya hari arofah. Disamping pahalanya besar akan tetapi juga menjadi sebab dosa kita diampuni oleh Allah SWT.

Kemudian yang harus kita ketahui juga bahwasanya, puasa arofah ini disunahkan bagi orang yang tidak melaksanakan ibadah haji. Adapun bagi orang yang melaksanakan ibadah haji disunnahkan bagi mereka dianjurkan dan dihimbau untuk memperbanyak dzikir memohon kepada Allah SWT di Arofah, kemudian bagi siapapun baik yang berada dipadang arofah atau yang diluar padang Arofah selain berpuasa hendaknya di hari arofah ini memperbanyak bersedekah, silaturrahmi terlebih lagi berdzikir kepada Allah SWT. Seperti disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal :

روى أحمد عن ابن عمر مرفوعاً :ما من أيام أعظم عند الله ولا أحب إليه من العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Tidak ada hari yang lebih agung di hadapan Allah dan lebih dicintai oleh Allah melebihi dari pada hari-hari 10 awal dzulhijjah ini. Maka perbanyaklah di hari-hari tersebut dari takbir, tahlil dan tahmid”

Dzikir tersebut yang selama ini kita kenal dengan takbir :

اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ – اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bagi orang yang ingin berpuasa di Hari Arofah atau di hari selainnya bagi yang masih hutang. Disini banyak Ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah bagi orang yang mempunyai utang yang utangnya adalah karena udzur seperti sakit, berpergian atau udzur-udzur yang menjadikan dia boleh berbuka puasa kemudian dia memasuki hari yang disunnahkan untuk berpuasa seperti hari arofah. Menurut madzhab imam abu hanifah orang tersebut tetap disunnahkan berpuasa dan tidak ada makruh sama sekali.

Adapun menurut madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i bagi orang yang masih mempunyai hutang kemudian dia berpuasa sunnah maka hukumnya makruh. Hendaknya didahulukan membayar hutang puasa wajibnya terlebih dahulu sebelum berpuasa sunnah.

Akan tetapi disitu juga dijelaskan oleh para ulama madzhab Syafi’i yaitu di saat kita membayar hutang puasa wajib, cukup dengan niat puasa wajib saja disaat seperti itu Allah akan memberikan kita pahala sunnah juga. Itulah kemurahan dari Allah SWT akan tetapi dengan catatan tidak boleh digabungkan niat antara puasa sunnah dengan niat puasa wajib untuk mengqodho’ tadi, akan tetapi cukup dengan niat fardhu maka pahala sunnah akan didapat. Jika menggabungkan niat puasa sunnah dengan niat hutang puasa wajib puasanya menjadi tidak sah.

Jika menggabungkan puasa sunnah dengan puasa sunnah hal itu diperbolehkan dan mendapatkan pahala sesuai yang diniatkan. Misalnya puasa Arofah bertepatan hari Senen lalu kita menggabung Puasa Senen dan Arafoh maka kita akan mendapatkan pahala dua-duanya . Adapun cara niat berpuasa Arofah adalah cukup kita melintaskan di hati “Aku berpuasa arofah” itu sudah sah dan lebih baik lagi jika dikuatkan dengan lisan kita. Mari di 10 awal Dzulhijjah ini khususnya 9 Dzulhijjah kita berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan segala bentuk kebaikan. Wallahu A’lam Bisshowab.

MENGUPAS AMALAN DO’A SAAT BERBUKA PUASA

MENGUPAS AMALAN DO’A SAAT BERBUKA PUASA

*MENGUPAS AMALAN DO’A SAAT BERBUKA PUASA*
(Oleh : Buya Yahya)

Secara umum dihimbau kita untuk memperbanyak do’a dan permohonan kepada Allah SWT. Khususnya disaat – saat yang dijanjikan pengkabulan secara khusus oleh Allah SWT. Seperti saat kita berbuka puasa.
Disebutkan dalam satu riwayat dari Nabi SAW :

Beliau bersabda

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم:” ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالْمَظْلُومُ ( رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ)

“ Tiga orang yang tidak ditolak permohonannya oleh Allah SWT : Orang berpuasa hingga berbuka, Imam yang adil dan orang yang didzolimi.”
(HR Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Maka dari itu sangat dihimbau disaat kita hendak berbuka untuk menghadirkan permohonan – permohonan kepada Allah SWT sesuai dengan keinginan kita. Artinya doa apa saja sangat dianjurkan untuk dibaca disaat kita berbuka. Lebih utama lagi jika doa itu adalah doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Adapun doa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW saat berbuka adalah :
1.
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
(حديث صحيح رواه أبو داود.)
“Telah hilang dahaga dan tenggorokan pun tela menjadi basah dan semoga pahala tetap di peroleh. “ (H.R. Abu Daud)
.

1. Doa yang pernah di baca oleh sayyidina Abdulloh bin Umar ra :

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ.(رواه أبو داوداً)

“Ya Allah untukMu-lah aku berpuasa, dan dengan rizkiMu-lah aku berbuka. “. (H. R. Abu Dawud)

2. Doa yang pernah di baca oleh Sayyidina Abdullah bin Amru bin Ash :

اللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ.
(رواه ابن ماجه من دعاء عبد الله بن عمرو بن العاص، وحسنه ابن حجر)

“Ya Allah sungguh aku memohon kepadaMu dengan rahmatMu yang meliputi segala sesuatu agar engkau mengampuni aku. “ (H.R. Ibnu Majah)

Adapun doa yang selama ini kita baca yaitu :

اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

“ Ya Alloh …Hanya untuk-Mu lah aku berpuasa,kepada-Mu lah aku beriman,dengan rizqi dari-Mu lah aku berbuka. Dengan rahmat-Mu Ya Allah aku bisa melakukan ini semuanya. Wahai Dzat Maha Kasi .”

Memang doa dengan susunan seperti itu tidak ada diriwayatkan dari Nabi SAW , akan tetapi secara makna dalam semua kandungan do’a itu adalah diajarkan oleh Nabi SAW. Bahkan tersimpulkan dari rangkuman beberapa riwayat dari Nabi SAW. Sehingga sangat tepat jika do’a tersebut juga kita baca bersama do’a yang diajarkan oleh Rasulullah SAW secara lafadh. Kalau kita cermati, makna dari doa tersebut sungguh sangat agung :

a. اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ
“ Ya Allah hanya untukmulah aku berpuasa.”
Yang tidak lain adalah makna ketulusan dan keikhlasan kepada Allah SWT.

b. وَبِكَ آمَنْتُ
“KepadaMu-lah aku beriman”

Adalah ikrar makna keimanan. Sangat sesuai dengan hadits Nabi SAW :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ” رواه البخاري 38 ومسلم 760

“ Barangsiapa berpuasa di bulan Romahon dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah SWT, akan diampuni dosa-dosa di masa lalunya.”(H.R. Bukhri & Muslim)

3. وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dengan rizkiMu-lah aku berbuka.”

Terkandung makna syukur kepada Allah SWT dan tanda patuh kepada
perintah Allah SWT.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُون (البقرة : 172)

“ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.S. Al-Baqarah : 172)

4. بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
“Dengan rahmat-Mu Ya Allah aku bisa melakukan ini semuanya. Wahai Dzat Yang Maha Kasih.”

Terkandung makna keinsyafan yang agung kepada Allah bahwa kebaikan
yang kita lakukan ini semu adalah semata- semata karena kasih sayang Allah
SWT.

Inilah sekelumit penjelasan tentang doa – doa saat berbuka puasa. Semoga menjadi bahan untuk kita semakin bersemangat dan khusyu di dalam memohon kepada Allah SWT.

Fiqih Praktis Puasa

Fiqih Praktis Puasa

Didalam mempelajari cara puasa ada beberapa hal terpenting yang harus kita hadirkan terlebih dahulu sebelum membahas permasalahan diseputar puasa:

  1. Definisi puasa
  2. Hal-hal yang membatalkan puasa
  3. Orang yang boleh untuk tidak berpuasa
  4. Niat dalam puasa

Download PDF File: 

Solusi Sholat di Jalan Macet

Solusi Sholat di Jalan Macet

Masalah menjama’ shalat karena macet di perjalanan adalah kemudahan untuk menghindari seseorang dari meninggalkan Shalat di saat macet.

Ini adalah pendapat Ulama-Ulama besar khususnya di dalam Madzhab kita Imam Syafi’i seperti pendapat Imam Syafi’i saat beliau di Iraq juga pendapat Qoffal Asy-Syasi dan Ibnul Mundzir.

Artinya kita tidak boleh ragu dalam mengamalkan pendapat ini demi menjaga ummat agar terhindar dari dosa besar karena meninggalkan sholat.

Download PDF File:

APAKAH ORANG YANG MENJALANKAN HUKUM SELAIN ISLAM ITU MENJADI KAFIR?

APAKAH ORANG YANG MENJALANKAN HUKUM SELAIN ISLAM ITU MENJADI KAFIR?

APAKAH ORANG YANG MENJALANKAN HUKUM SELAIN ISLAM ITU MENJADI KAFIR?

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum. Wr Wb.
Buya, saya Ramdhan mau bertanya, bagaimana hukumnya orang yang melaksanakan hukum di Indonesia yang bukan hukum Islam? Apakah kita akan menjadi kafir seperti orang yang menjalankan hukumnya orang jahiliyah?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Hukum Jahiliyah adalah semua hukum yang bertentangan dengan syariat Nabi Muhammad SAW. Bisa di zaman dahulu dan juga bisa di zaman sekarang, bisa di Indonesia dan juga bisa di luar Indonesia. Wajib bagi setiap Muslim untuk menegakkan syari’at Islam. Dimulai dari diri sendiri dan keluarganya. Sungguh omong kosong orang menyeru mendirikan Negara Islam namun aurat istri dan anaknya tidak tertutup atau shalat/puasanya sendiri tidak benar. Mari kita mulai menegakkan syari’at Islam pada diri sendiri kemudian keluarga baru nanti keluar. Sebab hukum Islam ada 3 macam:

1. Hukum Fard, yaitu hukum yang berkenaan dengan orang perorang dan setiap orang bisa menegakkannya seperti shalat dan menutup aurat.

2. Hukum Qodho, yaitu hukum antar sesama yang harus diselesaikan oleh seorang qodhi atau hakim seperti persengketaan jual beli dan perselisihan dalam pernikahan.

3. Hukum Imamah, yaituhukumyanghanyaboleh diterapkan oleh Imam (Negara) dan justru jika ditangani oleh orang perorang akan rancuh dan berantakan, seperti : Hukum potong tangan, cambuk dalam perzinaan dan hukum mati bagi yang murtad.

Bagi siapapun yang tidak menjalankan hukum Islam, tidak serta merta dikatakan kafir. Dikatakan kafir, jika ia tidak menjalankan syariat Islam karena:

a. Meyakini hukum Islam tidak benar.
b. Meyakini hukum selain Islam lebih baik. Sesuai dengan firman Allah SWT:

هم الْكافِرون
(Q.S. Al-Maidah : 44)

َوَم ْن لَ ْم يَ ْح ُك ْم بَِمآ أَنـَْزَل اهللُ فَأُولَئِ َك

Bagi yang tidak menjalankan hukum Islam namun masih meyakini kalau syariat Islam adalah syariat yang paling benar, maka :

1) Jika dia tidak menjalankan hukum padahal tidak ada udzur atau paksaan, maka ia fasik dan dzhalim.

2) Jika dia tidak menjalankan hukum karena ada udzur atau dipaksa maka ia dimaafkan dan tetap muslim serta tidak dosa (seperti Amar bin Yasin).

Wallahu a’lam bish-shawab.

MENYIKAPI PERBEDAAN DALAM HUKUM QUNUT SHUBUH

MENYIKAPI PERBEDAAN DALAM HUKUM QUNUT SHUBUH

MENYIKAPI PERBEDAAN DALAM HUKUM QUNUT SHUBUH

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Buya, saya mau tanya tentang Qunut, bagaimana awalnya? kenapa ada yang pakai Qunut dan ada yang tidak pakai Qunut? Bagaimana dengan Rasulullah SAW sendiri, apakah Rasulullah menggunakan Qunut atau tidak?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Qunut subuh adalah masalah khilafiyah, artinya para ulama berbeda pendapat dalam hal itu. Para ulama pengikut Imam Syafi’i mereka mengatakan bahwa qunut saat shalat shubuh adalah sunnah. Ulama pengikut Imam Abu Hanifah mengatakan jika qunut subuh itu tidak sunnah. Masing- masing mempunyai hujjah yang bersumber dari Rasulullah SAW.

Kalau kita kembali kepada ilmu para ulama ada banyak sebab perbedaan pendapat para ulama yang akan menjadikan orang yang sadar akan semakin kagum dengan kinerja para ulama terdahulu. Bahkan mereka senantiasa saling menghormati tanpa harus mencela yang berbeda dengannya. Bagi kita adalah mengikuti mereka, bukan mencela. Yang mencela orang yang tidak berqunut itu sama artinya mencela Imam Abu Hanifah, begitu sebaliknya yang mencela orang yang berqunut itu sama artinya mencela Imam Syafi’i.

Menyikapi hal itu kita harus bijak, jangan membuat keanehan di masyarakat kita. Karena tidak semua orang awam tahu perbedaan ini. Maka jika anda hidup di negeri orang tidak berqunut seperti India, maka anda jangan memaksa mereka mengikuti anda yang berqunut. Karena hal itu akan membuat resah ummat. Begitu juga jika anda pengikut Imam Abu Hanifah lalu anda ke Indonesia yang masyarakatnya pengikut Imam Syafi’i jangan anda membuat resah mereka dengan anda memaksa mereka untuk tidak berqunut.

Wallahu a’lam bish-shawab.

MENGHADAPI SUAMI TEMPRAMENTAL/SUKA MARAH

MENGHADAPI SUAMI TEMPRAMENTAL/SUKA MARAH

MENGHADAPI SUAMI TEMPRAMENTAL/SUKA MARAH

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Buya Yahya yang saya hormati, saya minta tolong bantuanya. Suami saya adalah seorang yang tempramental, sering marah-marah walaupun tanpa sebab bahkan kadang-kadang kemarahannya dilampiaskan kepada saya ataupun kepada
anak-anak saya, bagaimana seharusnya yang harus saya perbuat? Apakah saya boleh untuk meminta cerai? Tolong jawabannya ya Buya

Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Dalam menyikapi suami yang mudah marah adalah dengan koreksi diri dahulu sebab bisa saja seorang suami marah atau berbuat dzalim kepada istri karena keteledoran istri dalam melaksanakan kewajiban kepada suami, atau seorang istri melakukan sesuatu kesalahan yang tidak ia rasa namun amat menyakitkan suami.

Jika demikian adanya maka seorang istrilah yang perlu berbenah diri terlebih dahulu sebelum menuntut sang suami berbenah. Ini adalah cara pertama menyelesaikan masalah yang sering dilupakan.

Jika ternyata memang sifat dan perilaku suami adalah dzalim dengan marah tanpa sebab serta melampiaskanya amarah tersebut dengan cara dzalim (seperti memukul atau mencaci maki yang menyakitkan), hal yang demikian tentu amat mengganggu keindahan dalam berumah tangga.

Maka di saat seperti itu seorang istri mempunyai dua pilihan: Petama: bersabar dan berusaha untuk merubahnya dan sungguh ini adalah suatu kemuliaan yang agung.

Kedua: Jika memang tidak mampu untuk bersabar maka ia bisa minta cerai karena seseorang tidak boleh dipaksa untuk bertahan di bawah kedzaliman. Sebab salah satu sebab diperkenankannya seorang istri meminta cerai adalah jika ia benar-benar didzalimi suami. Wallahu a’lam bish-shawab.

Website artikel: www.buyayahya.org
Website mp3: www.buyayahya.net
RadioQu Network: www.radioqu.com

Sampaikan kepada yang lain, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
“Barang siapa yg menunjukkan suatu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang melakukannya” (HR. Imam Muslim)