Dikutip dari : Fiqih Praktis Puasa Buya Yahya
1. Anak kecil
Maksudnya, diantara orang yang boleh tidak berpuasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:
a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
b. Keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan)
c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun. Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.
2. Gila
Orang gila tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka
puasanya pun tidak sah. Dalam hal ini, ulama membagi orang gila
menjadi dua macam, yaitu:
a. Orang gila dengan disengaja.
Orang gila yang disengaja jika berpuasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha. Sebab sebenarnya ia wajib berpuasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.
b. Orang gila yang tidak disengaja
Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib berpuasa. Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.
3. Sakit
Orang sakit boleh meninggalkan puasa. Adapun ketentuan bagi
orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:
a. Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan. Yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah:
• Dokter Muslim yang terpercaya.
• Berdasarakan pengalamannya sendiri.
Catatan:
Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja. Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya. Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa. Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan
sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.
4. Orang Tua
Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa. Dalam hal ini, tidak ada batasan umur. Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa
5. Bepergian (Musafir)
Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:
• Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.
• Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).
Misalnya:
Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).
Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah
keluar dari Cirebon dan masuk Brebes. Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa. Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.
Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah. Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.
Catatan:
Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.
Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari. Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat. Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti
kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang. Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4
hari, ia sudah disebut mukim. Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah
sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam kamis, hari kedua adalah malam jumat, hari ketiga adalah malam
sabtu, hari keempat adalah malam ahad, dan dia keluar hari senin maka hari rabu saat ia datang dan hari senin saat dia keluar tidak
dihitung. Begitu juga jika ada orang datang hari sabtu siang, kemudian keluar hari sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk
yang tidak dihitung.
6. Hamil
Orang hamil yang khawatir akan kondisi:
a. Dirinya, atau
b. Janin (bayinya)
7. Menyusui
Orang menyusui yang khawatir akan kondisi:
a. Dirinya atau
b. Kondisi bayi yang masih di bawah umur 2 tahun Hijriyah.
Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.
8. Haid
Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
9. Nifas
Wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa. Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.
Sebar seluas-luasnya.